oleh: P. William P. Saunders *
Rosario adalah salah
satu doa yang paling disukai dalam Gereja Katolik kita. Uskup Agung Fulton
Sheen mengatakan, “Rosario adalah kitab bagi mereka yang buta, di mana
jiwa-jiwa melihat dan di sana ditampilkan drama kasih teragung yang pernah
dikenal dunia; Rosario adalah kitab bagi mereka yang sederhana, yang menghantar
mereka masuk ke dalam misteri-misteri dan pengetahuan yang lebih memuaskan hati
dari pendidikan manusia; Rosario adalah kitab bagi mereka yang lanjut usia,
yang matanya tertutup terhadap bayang-bayang dunia ini dan terbuka pada dunia
mendatang. Kuasa rosario melampaui kata-kata.”
Diawali dengan Kredo,
Bapa Kami, tiga Salam Maria dan Doksologi (Kemuliaan), serta diakhiri dengan
Salve Regina (Salam ya Ratu), rosario merupakan pendarasan lima misteri;
masing-masing misteri terdiri dari Bapa Kami, 10 Salam Maria dan Doksologi.
Selama mendaraskan rosario, kita merenungkan misteri-misteri penyelamatan dalam
hidup Tuhan kita dan kesaksian iman Bunda Maria.
Melalui peristiwa-peristiwa
Gembira, Cahaya, Sedih dan Mulia dalam rosario, kita dihantar pada kenangan
akan inkarnasi Tuhan kita, pewartaan-Nya di hadapan publik, sengsara dan
wafat-Nya, dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati.
Dengan demikian, rosario
membantu kita untuk bertumbuh dalam penghayatan yang lebih mendalam atas
misteri-misteri ini, dalam mempersatukan hidup kita dengan lebih akrab pada
Tuhan kita dan dalam memohon bantuan rahmat-Nya untuk mengamalkan iman.
Kita
juga memohon bantuan doa Bunda Maria, teladan iman, yang menghantar semua orang
percaya kepada Putranya.
Asal-usul rosario agak
“kabur”. Penggunaan “manik-manik” dan pendarasan doa yang diulang-ulang untuk
membantu orang dalam meditasi berasal dari masa-masa awal Gereja dan telah ada
bahkan pada masa-masa sebelum kekristenan.
Didapati bukti-bukti dari Abad
Pertengahan bahwa untaian manik-manik dipergunakan untuk membantu orang
menghitung jumlah Bapa Kami atau Salam Maria yang didaraskan. Sesungguhnya,
untaian manik-manik ini kemudian dikenal sebagai “Paternosters,” bahasa Latin
untuk “Bapa kami”.
Sebagai contoh, pada abad ke-12, guna membantu agar mereka
yang kurang terpelajar dapat berpartisipasi lebih baik dalam liturgi,
pendarasan 150 Bapa Kami dipakai untuk menggantikan 150 Mazmur, dan dikenal
sebagai “brevir orang-orang sederhana”.
Struktur rosario perlahan-lahan
berkembang antara abad ke-12 dan abad ke-15. Pada akhirnya 50 Salam Maria (atau
lebih) didaraskan dan dihubungkan dengan ayat-ayat Mazmur atau ayat-ayat lain
mengenangkan “sukacita Maria” dalam hidup Yesus dan Maria.
Dominikus dari
Prussia, seorang biarawan Carthusian, pada tahun 1409 mempopulerkan praktek
mempertalikan 50 ayat mengenai hidup Yesus dan Maria dengan 50 Salam Maria.
Pada masa ini, bentuk doa ini dikenal sebagai rosarium (“kebun mawar”),
sesungguhnya suatu istilah umum, yang berarti bunga rampai, yang dipergunakan
untuk menyebut suatu kumpulan bahan yang serupa, misalnya suatu bunga rampai
kisah-kisah dengan subyek atau tema yang sama.
Pada akhirnya, ditambahkan juga
“dukacita Maria” dan “sukacita surgawi”, sehingga jumlah Salam Maria menjadi
150. Dan akhirnya, ke-150 Salam Maria digabungkan dengan ke-150 Bapa Kami; satu
Salam Maria sesudah satu Bapa Kami.
Pada awal abad ke-15,
Henry Kalkar (wafat 1408), seorang biarawan Carthusian lainnya, membagi ke-150
Salam Maria ke dalam kelompok-kelompok; satu kelompok berisi 10 Salam Maria
dengan diawali satu Bapa Kami.
Pada abad ke-16, struktur lima misteri rosario
didasarkan pada tiga rangkaian peristiwa - Peristiwa GEMBIRA
1. Maria menerima
kabar gembira dari Malaikat Gabriel;
2. Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya;
3. Yesus dilahirkan di Betlehem;
4. Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah;
5.
Yesus diketemukan dalam Bait Allah),
Peristiwa SEDIH
1. Yesus berdoa kepada
BapaNya di surga dalam sakrat maut;
2. Yesus didera;
3. Yesus dimahkotai duri;
4. Yesus memanggul salib-Nya;
5. Yesus wafat disalib) dan
Peristiwa MULIA
1.
Yesus bangkit dari kematian;
2. Yesus naik ke surga;
3. Roh Kudus turun atas
para Rasul;
4. Maria diangkat ke surga;
5. Maria dimahkotai di surga).
Pada
tahun 2002, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II menetapkan peristiwa CAHAYA
1.
Yesus dibaptis di Sungai Yordan;
2. Yesus menyatakan DiriNya dalam perjamuan
nikah di Kana;
3. Yesus mewartakan Kerajaan Allah serta menyerukan pertobatan;
4. Yesus dipermuliakan;
5. Yesus menetapkan Ekaristi).
Juga, setelah penampakan
Bunda Maria di Fatima pada tahun 1917, doa yang diajarkan Bunda Maria kepada
anak-anak secara umum ditambahkan pada akhir setiap misteri,
“Ya Yesus yang
baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari api neraka. Hantarlah
jiwa-jiwa ke surga, teristimewa jiwa-jiwa yang amat membutuhkan kerahiman-Mu.”
Menurut tradisi, St
Dominikus (wafat 1221) menyusun rosario seperti yang kita kenal sekarang.
Tergerak oleh suatu penampakan Bunda Maria, ia mewartakan penggunaan rosario
dalam karya misionarisnya di antara kaum Albigensia, suatu kelompok bidaah yang
fanatik.
Albigensia berasal dari nama kota Albi di Perancis selatan di mana
mereka tinggal; mereka percaya bahwa semua yang jasmaniah adalah jahat dan
semua yang rohaniah adalah baik.
Karenanya, mereka menyangkal inkarnasi Tuhan
kita; bagi mereka, Yesus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia dan
mengenakan kodrat manusiawi kita, sungguh tidak masuk akal. Menurut ajaran
Albigensia, jiwa orang dianggap terbelenggu dalam tubuh yang jahat. Sebab itu,
mereka berpantang kasih perkawinan dan prokreasi, sebab dianggap jahat
membelenggu suatu jiwa lain dalam suatu raga. Tindakan religius mereka yang
paling “luhur” disebut “endura,” suatu tindakan bunuh diri yang membebaskan
jiwa dari raga.
Mereka juga menentang otoritas manapun yang mewakili suatu
kerajaan dunia ini, sebab itu mereka membantai para pejabat kerajaan dan para
pejabat Gereja. Gereja mengutuk bidaah ini, dan St Dominikus berusaha
mempertobatkan mereka melalui khotbah-khotbah yang logis dan kasih Kristiani
sejati. Sayangnya, otoritas kerajaan tidak cukup berbelaskasih.
(Sekedar
tambahan, suatu siaran traveling menyiarkan di televisi suatu program traveling
di Perancis selatan, dan mengunjungi kota Albi, mengatakan bahwa orang-orang di
sana “dianiaya oleh Gereja”; narator program tersebut tidak menyebutkan bahwa
orang-orang ini adalah bidaah bunuh diri yang ajarannya membahayakan jiwa-jiwa
umat beriman.)
Namun demikian, St Dominikus mempergunakan rosario sebagai suatu
sarana ampuh untuk mempertobatkan kaum Albigensia.
Sebagian ilmuwan
mengesampingkan peran aktual St Dominikus dalam terbentuknya rosario sebab
kisah-kisah riwayat hidupnya yang ditulis lebih awal tidak menyebutkan hal itu,
konstitusi Dominikan tidak menghubungkannya dengan hal tersebut, dan
pelukis-pelukis pada masa St Dominikus tidak memasukkan rosario sebagai lambang
yang menjadi ciri khas St Dominikus.
Pada tahun 1922, Dom Louis Gougaud
menyatakan, “Berbagai unsur yang ada dalam komposisi devosi Katolik yang umum
disebut rosario merupakan hasil dari suatu perkembangan yang panjang dan
perlahan yang dimulai sebelum masa St Dominikus, dan yang terus berlanjut tanpa
ia ikut ambil bagian di dalamnya, dan yang akhirnya mendapati bentuk akhirnya
beberapa abad setelah kematiannya.”
Namun demikian, sebagian ilmuwan lain
menyanggah pendapat bahwa St Dominikus tidak begitu terlibat dalam
“menciptakan” rosario, sebab ia mewartakan penggunaannya untuk mempertobatkan
para pendosa dan mereka yang telah menyimpang dari iman.
Di samping itu,
sekurangnya ada selusin paus yang menyebutkan hubungan antara St Dominikus
dengan rosario dalam berbagai pernyataan kepausan, mendukung perannya
setidak-tidaknya sebagai seorang “beriman yang saleh”. Dari antaranya, yang
pertama-tama dinyatakan oleh Paus Alexander VI pada tahun 1495.
Rosario menjadi semakin
populer pada tahun 1500-an, teristimewa melalui upaya Paus St Pius V. Pada
waktu itu, kaum Muslim Turki menyerang Eropa Timur. Pada tahun 1453
Konstantinopel telah jatuh ke tangan Muslim, sementara Balkan dan Hungaria
nyaris ditaklukkan. Pada tahun 1521 kaum Muslim berhasil menaklukkan Belgrade,
Hungaria, dan pada tahun 1526 mereka telah berada di perbatasan Vienna,
Austria. Dengan kaum Muslim menyerbu bahkan pesisir Italia, maka penguasaan
atas Mediterania sekarang di ujung tanduk.
Pada bulan Februari
1570, utusan Turki menyampaikan ultimatum kepada Republik Venisia: menyerahkan
kepulauan Siprus secara damai atau menghadapi perang. Venisia menolak, dan
setelah berperang selama sebelas bulan, Siprus takluk pada kekuasaan Muslim
pada tanggal 1 Agustus 1571.
Syarat-syarat penyerahan diri ditetapkan demi
keselamatan pasukan Kristen yang kalah. Tetapi, begitu komandan Muslim
mengambil alih kuasa kota, ia memerintahkan agar komandan Kristen, Marcantonio
Bragadin, dikuliti hidup-hidup. Tubuhnya kemudian dibelah menjadi empat, dan
sayatan kulitnya diisi jerami dan seragamnya dikenakan padanya, lalu diseret
sepanjang kota. Sekarang kaum Kristen tahu benar musuh macam apa yang tengah
mereka hadapi.
Pada tahun 1571, Paus St
Pius V mengorganisir suatu armada di bawah komando Don Juan dari Austria, sanak
Raja Philip II dari Spanyol. Bala tentara dari Spanyol, Venisia, Roma, Savoy,
Genoa, Lucca, Tuscany, Manova, Parma, Urbino, dan Ferrara, juga Malta membentuk
suatu aliansi melawan Turki.
(Menariknya, Perancis yang Katolik menolak bersatu
dan bahkan mendanai pasukan Muslim Turki demi melemahkan musuh bebuyutan
mereka, Jerman-Austria). Sementara persiapan dilakukan, Bapa Suci meminta
segenap umat beriman untuk mendaraskan rosario dan memohon bantuan doa Bunda
Maria di bawah gelar “Bunda Kemenangan,” memohon Tuhan menganugerahkan
kemenangan kepada umat Kristiani.
Meski armada Muslim jauh
melampaui armada Kristiani, baik dalam jumlah kapal-kapal perang maupun
pasukan, kedua armada siap bertempur. Kapal pemimpin Kristen mengibarkan
bendera biru dengan lukisan Kristus Tersalib, sementara bendera Muslim
mencantumkan ayat-ayat dari Al Quran menyerukan jihad dan membasmi “orang-orang
kafir”.
Pada hari Minggu, 7 Oktober 1571, pukul 11 pagi, Pertempuran di Lepanto
dimulai, dan dalam tempo lima jam, kaum Muslim dikalahkan. Siang itu, sementara
Paus St Pius V tengah berada dalam suatu rapat, sekonyong-konyong beliau
berdiri, menuju jendela, menatap ke luar ke arah pertempuran berlangsung
bermil-mil jauhnya, dan mengatakan, “Marilah kita berhenti menyibukkan diri
dengan masalah-masalah ini dan marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan.
Armada Kristen telah meraih kemenangan.”
Tahun berikutnya, Paus
St Pius V sebagai ungkapan syukur menetapkan Pesta Rosario Suci pada tanggal 7
Oktober di mana umat beriman tidak hanya mengenangkan kemenangan ini, melainkan
juga terus menyampaikan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya dan
mengenangkan kuasa perantaraan Bunda Maria kita.
Bapa Suci juga secara resmi
menganugerahkan gelar, “Auxilium Christianorum” atau “Pertolongan Orang-orang
Kristen” pada Bunda Maria. Mejelis Tinggi Venesia juga mencantumkan pada
sebilah papan dalam ruang pertemuan mereka, “Non virtus, non arma, non duces,
sed Maria Rosari, victores nos fecit,” yang artinya, “Bukan kegagahan, bukan
senjata, bukan pemimpin, melainkan Maria dari Rosario yang membuat kita menang.”
Mengenangkan tindakan
Paus Pius V, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, dalam sebuah amanat Angelus yang
disampaikan pada bulan Oktober 1983 mengatakan, “Rosario juga mengambil
perspektif baru dan dibebani dengan intensi-intensi yang terlebih dahsyat dan
terlebih banyak dari masa lalu.
Sekarang bukan masalah memohon kemenangan
besar, seperti di Lepanto dan di Vienna, melainkan memohon Maria untuk
menyediakan bagi kita pejuang-pejuang yang gagah berani melawan roh kejahatan
dan kesesatan, dengan senjata-senjata Injil, yakni Salib dan Sabda Allah.
Doa
Rosario adalah doa manusia untuk manusia. Rosario adalah doa solidaritas
kemanusian, doa bersama orang-orang yang ditebus, dengan merefleksikan roh dan
intensi dari dia yang pertama-tama ditebus, yakni Maria, Bunda dan Citra
Gereja. Rosario adalah doa bagi segenap manusia di dunia dan dari sepanjang
sejarah, yang hidup dan yang mati, yang dipanggil untuk menjadi Tubuh Kristus
bersama kita dan bersama-sama kita menjadi ahli waris bersama dengan Dia dalam
kemuliaan Bapa.”
Di masa-masa belakangan
ini, rosario telah dijunjung tinggi dan dianjurkan sebagai suatu sarana yang
efektif bagi pertumbuhan rohani.
Banyak para kudus mendorong didaraskannya
rosario, termasuk
St Petrus Kanisius, St Filipus Neri dan St Louis de Montfort.
Paus Leo XIII, yang kerap disebut “Paus Rosario”, berupaya memelihara tradisi
doa ini, yang ditegaskannya sebagai suatu senjata rohani yang ampuh melawan
kejahatan (Supremi Apostolatus Officio, 1884).
Paus Pius XI pada tahun 1938
memberikan indulgensi penuh kepada barangsiapa yang mendaraskan rosario di
depan Sakramen Mahakudus. Paus Beato Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI keduanya
juga dikenal sebagai penganjur rosario yang gigih. Buku Pedoman Indulgensi
(1969), yang mendapatkan persetujuan Paus Paulus VI, memberikan indulgensi
penuh “jika rosario didaraskan di sebuah gereja atau suatu tempat doa umum,
atau dalam suatu kelompok keluarga, suatu komunitas religius atau perkumpulan
saleh….” (No. 48).
Yang paling akhir, untuk
menandai diawalinya 25 tahun masa pontifikatnya, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II menerbitkan Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, dimana beliau
menetapkan Peristiwa Cahaya dan lagi, mendorong umat beriman untuk menggunakan
rosario untuk “bersama Maria, merenungkan wajah Kristus.” Dengan
mengesampingkan adanya gagasan bahwa rosario mengalihkan perhatian orang dari
liturgi atau gagasan bahwa rosario merupakan penghalang bagi ekumene, Bapa Suci
menegaskan, “Alasan paling kuat untuk mendesakkan pelaksanaan doa rosario
adalah karena doa rosario merupakan sarana yang paling efektif untuk
mengembangkan di kalangan kaum beriman komitmen untuk berkontemplasi pada
misteri Kristiani; ini sudah saya usulkan dalam Surat Apostolik Novo Millennio
Ineunte sebagai `latihan kekudusan' yang sejati. `Kita memerlukan kehidupan
Kristiani yang menonjol dalam seni berdoa.'” (No 5).
Sebab itu, rosario
meupakan bagian dari sejarah rohani Gereja yang patut dijunjung tinggi. Rosario
memampukan umat beriman untuk berpartisipasi dalam sejarah keselamatan yang hidup,
mempersatukan kita secara lebih akrab dengan Juruselamat dan BundaNya yang
Tesuci, dan dengan segenap Gereja. Rosario perlu menjadi bagian dari sejarah
tiap-tiap individu dan tiap-tiap keluarga, sebab melalui doa rosario ikatan
kasih diperteguh.
* Fr.
Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor
of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in
Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Origins of the Rosary” by Fr.
William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington
Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Post a Comment